SEPENGGAL PERJALANANKU
Oleh: Munif Kholifah Sulistiyoningrum
Mobil kami melewati jalan kecil di daerah Pagedongan, Banjarnegara. Sisa-sisa tanah longsor terlihat begitu jelas, longsor terjadi akibat hujan deras selama sehari semalam yang tengah mengguyur wilayah itu. Mobil terus melaju di jalanan yang setiap saat terancam longsor mengingat masih begitu labilnya tanah.
"Lihat sebelah sana Ma, itu kuburan desa." Kata suamiku. Kami bertiga yang kesemuanya berada dalam mobil menoleh ke sebelah kiri, tempat yang dimaksud suamiku. Gundukan-gundukan tanah terlihat begitu tak beraturan. Sejauh mata memandang tak kutemukan pepohonan nan hijau dan rumah-rumah warga yang berhimpitan. Semuanya nyaris rata dengan tanah.
Kelurahan Tegalgiri, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara. Dulunya, warga yang tinggal di sini begitu ramai. Setiap pagi mereka sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Kini tempat-tempat tersebut telah menjadi kenangan yang begitu memilukan bagi siapa saja yang mengingatnya. Seluruh harta dan rumah warga tenggelam bersama lebih dari seratus nyawa yang melayang.
Kadang-kadang, tak berapa lama setelah kejadian itu, ada saja warga yang masih berusaha mencari keluarga atau tetangganya. Namun yang mereka dapat justru lebih menyakitkan. Potongan-potongan tubuh di balik tanah, atau bahkan yang tersangkut di pinggir sungai.
Tujuan kami ke sini sebenarnya bukan untuk membahas bencana alam yang melanda daerah Banjarnegara. Kami sekeluarga sedang dalam perjalanan liburan di kota tersebut. Namun kami merasa heran tentang tradisi masyarakat Indonesia yang menjadikan kawasan bencana sebagai tempat wisata dadakan.
Di sini, kuburan masal yang telah merenggut banyak jiwa kini menjadi daerah wisata. Bahkan saking antusiasnya warga untuk melihat, akses jalan menuju kuburan masal di Tegalgiri sering macet. Mereka yang berebut datang bukan untuk membantu warga yang tertimpa musibah, namun lebih kepada melihat sisa-sisa musibah sebagi tontonan. Seperti melakukan perjalanan wisata. Sungguh fenomena yang sangat memprihatinkan.
Tanah longsor di Banjarnegara terjadi pada selasa petang 16 Maret 2010. Rumah-rumah penduduk jadi rata dengan tanah, jembatan terbelah jadi dua, mayat-mayat bergelimpangan. Kebanyakan tewas karena tertimpa tanah longsor atau tertimpa bangunan karena tak sempat lari keluar.
Perjalanan kami berakhir di sebuah rumah yang masih kokoh berdiri, meski di sana sini ada tembok yang rengat akibat tanah longsor. Di dalamnya terdapat orang-orang dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang datang dari Jakarta khusus untuk menangani anak-anak yang menjadi korban gempa. Selama di sini, mereka akan membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis anak-anak yang trauma akibat kejadian silam.
Tiba-tiba aku tersentak bangun dari tidurku. Aku lihat disebelahku masih ada suami dan anakku tercinta. Alhamdulillah. Aku ucap syukur kehadirat Allah SWT. Ternyata aku masih di rumahku sendiri. Mungkin aku hanya terlalu larut dalam kesedihan yang menimpa saudara-saudaraku yang ada di Banjarnegara, karena sebelumnya aku melihat bencana tanah longsor di Banjarnegara lewat tayangan di televisi. Dan aku lupa untuk mendoakan mereka. Alhamdulillah sekali lagi, karena Allah lebih menyayangiku dengan memberi teguran bahwa aku belum mendoakan saudara-saudaraku yang ada di sana. Doa, hanya itu yang bisa aku berikan untuk mereka. Semoga Allah mengabulkan doaku. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar