Kamis, 07 April 2011

KREATIFITAS SEBAGAI KUNCI KESUKSESAN

KREATIFITAS SEBAGAI KUNCI KESUKSESAN
Oleh : Munif Kholifah Sulistiyoningrum

Sander A. Flaum dalam artikelnya Time to Create mengemukakan, banyak orang berfikir bahwa kretifitas adalah kilatan inspirasi yang bersifat mistik. Menurutnya, kreatifitas adalah juga kerja keras yang perlu dibangun dalam kehidupan para pemimpin professional. Itulah yang dilakukan oleh Jim Collins seorang pemikir paling kreatif di dunia bisnis yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memburu kreatifitas. Ia meyakini bahwa kreatifitas sangat menentukan keberhasilan. Oleh karenanya ia menentukan langkah untuk memastikan bahwa ia telah benar-benar menghabiskan waktunya demi meraih kreatifitas.
Meraih kreatifitas bukan hal mudah. Kreatifitas membutuhkan ketekunan dan kesetiaan. Kreatifitas kadang muncul tiba-tiba. Membutuhkan lompatan keyakinan untuk tetap pada tujuan meski hasil belum memuaskan.
Sanser A. Flaum mengemukakan bahwa dalam kenyataannya, sebagaimana banyak hasil penelitian yang dilakukan mengenai proses kreatif, bahwa keberhasilan dalam meraih kreatifitas lebih pada faktor pembiasaan dari pada keberuntungan. Ia mengutip pandangan Karl Ulrich yang mengatakan bahwa dibutuhkan banyak pemikiran dan refleksi untuk menghasilkan dan melaksanakan ide-ide baru daripada apa yang diharapkan kebanyakan orang.
Menurut pandangan konvensional, inovasi merupakan proses kreatif murni. Itulah mengapa muncul istilah 'spark of creativity' (percikan kreatif) dalam buku semisal Creative Breaktrough Product.
Sebenarnya percikan atau pencetusan hanyalah permulaan dari proses kreatif. Ide-ide bagus baru akan muncul kemudian dalam proses yang lambat dan tidak menarik dan mematikan ide-ide yang tidak penting. Mungkin terdengar tidak kreatif, namun itu adalah bagian penting dari proses kreatif, dan memerlukan waktu.
Teresa Amabile, Kepala bagian kewirausahaan dan manajeman di Harvard Business School, setelah melakukan penelitian bersama timnya terhadap 12.000 entri jurnal dari 38 orang yang bekerja pada proyek-proyek di tujuh perusahaan industri, berkesimpulan bahwa seseorang perlu waktu untuk berendam dalam masalah dan membiarkan gelembung-gelembung ide bermunculan.
Dalam sebuah perusahaan tidak hanya membutuhkan kreatifitas sebagian pekerja, namun setiap pemimpin perusahaan menginginkan seluruh pekerjanya memiliki kreatifitas dan menghasilkan ide-ide baru yang berguna untuk pengembangan perusahaan.
Resesi yang terjadi di perusahaan memberikan peluang yang unik untuk mendorong kreatifitas. The New York Times melaporkan bahwa beberapa tahun belakangan banyak artis yang mengambil kesempatan kreatif, bekerja di luar rumah medianya, merambah jalan baru untuk inspirasi karena mereka menyerah pada suramnya kondisi ekonomi di industri mereka.
Di akhir tulisanya, Flaum mengemukakan, bahwa para pemimpin perusahaan akan lebih bijak jika mereka melakukan langkah-langkah terobosan, dengan tidak hanya menggunakan periode ini (resesi) untuk mencoba ide-ide baru tetapi untuk melakukan restrukturisasi manajemen demi perkembangan usaha mereka.
Kreatifitas sebagai Kunci Sukses Perusahaan
Dalam buku Creativity Inc: Building Business School Press Jeff Mauzy dan Richard A. Harriman berpandangan kurang lebih sama dengan Flaum. Dalam buku yang diterbitkan oleh Harvard Business School Press tersebut ia mengemukakan beberapa hal penting tentang kreatifitas perusahaan. Menurutnya, kreativitas adalah kunci sukes perusahaan
Kreativitas adalah proses timbulnya ide yang baru, sedangkan inovasi adalah pengimplementasian ide itu sehingga dapat merubah dunia. Kreativitas membelah batasan dan asumsi, dan membuat koneksi pada hal hal lama yang tidak berhubungan menjadi sesuatu yang baru. Inovasi mengambil ide itu dan mejadikannya menjadi produk atau servis atau proses yang nyata di perusahaan.
Kreativitas seringkali lebih diidentikkan dengan para seniman, desinger, dunia periklanan, dan aktor aktris. Jeff Mauzy dan Richard A. Harriman dalam buku ini menunjukan bahwa kreativitas dan kemampuan berinovasi dapat dibentuk dan dibangun dalam sebuah framework manajemen yang baik.
Semua orang setuju bahwa untuk menunjang kemajuan perusahaan perlu adanya kreativitas didalam perusahaan, tetapi jarang sekali yang tahu dan mau membentuk dan menjadikan perusahaan mempunyai kultur yang menyuburkan kreativitas.
Perusahaan besar di manapun tempatnya selalu dapat mempertahankan nafas kreativitas dan selalu melahirkan inovasi baru yang menghasilkan sustainable growth.
Dalam buku ini dijelaskan apa inti arti dan proses kreatif itu. Salah satunya adalah berfikir kreatif. Kreatifitas dibentuk oleh motivasi dan rasa keingintahuan dan kemauan untuk mangatasi ketakutan dalam perkembangan perusahaan. Bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tidak nyambung menjadi inovasi baru, dan menggabungkan disiplin ilmu yang berbeda untuk mencapai hal baru.
Dijelaskan apa dan bagaimana tipe orang yang kreatif dan apa yang biasanya dilakukan orang-orang kreatif. Bagaimana menggabungkan orang-orang yang kreatif didalam perusahaan untuk dapat melahirkan sebuah perusahaan yang inovatif? Disini dijelaskan tentang teknik dan hal apa yang perlu diperhatikan dalam membuat perusahaan lebih kreatif, baik dari sisi human resourse, information ataupun struktur orgainisasi.
Ketika melihat serbuk sari tanaman menempel pada bajunya, George de Mestral, tiba-tiba memikirkan tentang ide yang akhirnya menjadi produk inovatif Velcro.
Karakter kedua adalah Berpikir memecah (divergent thinking), yakni adalah kemampuan untuk menghubungkan dua hal yang tidak ada hubungannya menjadi sebuah hal baru. Ini adalah kapasitas kreatif yang hilang pada saat kita tumbuh dewasa. Survey menunjukan penurunan kemampuan ini dari 98 persen pada saat berumur lima tahun menjadi 2 persen saat berumur 25 tahun keatas.
Buku ini juga menyorot Iklim perusahaan dan iklim personal yang kreatif. Dikemukakan bahwa kolaborasi antar department, umpan balik tentang perkembangan hasil inovasi dan fleksibilitas dalam mengelola energi kreatif adalah bagian penting dalam sebuah iklim perusahaan inovatif.
Iklim kreatif lebih mudah dibentuk dari awal berdirinya perusahaan. Perubahan pada perusahaan yang mapan haruslah dimulai dari puncak dan dilakukan secara berkala dengan otonomi pada departemen yang diharapkan untuk menjadi lebih kreatif.
Kreativitas individual haruslah dapat dipertahankan didalam perusahaan bila ingin inovasi yang berkelanjutan, kepada orang-orang kreatif haruslah diberikan sebuah wadah yang nikmat. Keingingan mereka untuk sukses, the power of passion, atau kecintaan mereka akan hal-hal baru yang berbeda, dan koneksi orang-orang ini dengan dunianya haruslah dipupuk dan dipertahankan.
Kepemimpinan yang menumbuhkan kreativitas
Pemimpin yang baik tahu bagaimana mengurangi kontrol, memberikan reward, menghormati kegagalan, dan mendorong karyawan berinovasi. Pemimpin harus dapat menyediakan sarana dan pelatihan, dan memberikan umpan balik pada setiap tindakan yang inovatif.
Kreativitas pada perusahaan haruslah diarahkan dengan benar, dan tidak sekedar menjadi kreatif saja, tetapi mempunyai tujuan yang terarah dan berguna untuk perusahaan. Kreativitas yang baik adalah kreativitas yang betujuan.
Ada tujuh langkah pelaksanaan kreativitas: Langkah dasar, Explorasi kesegala arah, Pemilihan, Fokus dan ekplorasi detil, Penyimpulan tindakan, Transformasi dan pengembangan, dan akhirnya Implementasi. Ketujuh langkah ini merupakan framework pelaksannan inovasi dalam perusahaan.
Mempertahankan perubahan menjadi kunci berhasil tidaknya implementasi perubahan. Perencanaan yang baik, pendataan hasil yang jelas, dan pemupukan iklim kerja yang baik akan berhasil membuat inovasi menjadi kunci sukses perusahaan.
Untuk dapat bertahan dan berkembang pada jangka panjang, setiap orang pada perusahaan haruslah menciptakan hal baru dan berinovasi. Dan setiap orang haruslah dapat melakukannya secara natural seperti cara kita bernafas. Itulah kata awal pada buku ini.
Walaupun buku ini tidak memberikan terobosan besar, tapi telah memberikan sebuah legitimasi bahwa kreativitas dapat dan haruslah dikembangkan pada semua perusahaan besar dan kecil di manapun.
Hal penting yang harus jadi catatan adalah bahwa kreatif adalah karakter yang terbentuk dari kebiasaan (habit) bukan kebetulan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mauzy dan. Harriman di atas, bahwa pada umur 25 th kreatifitas manusia hanya tinggal 2 persen saja. Kreatif adalah potensi dasar manusiawi (given) yang telah hilang dan perlu ditemukan kembali melalui pembiasaan. Oleh karenanya, sebagaimana dikemukakan Jim Collins di atas, bahwa untuk menemuan kreatif perlu waktu panjang dan bergelut dengan rintangan problematik untuk selanjutnya akan muncul yang disebut penemuan kreatif. Dengan demikian, penemuan kreatif perlu kesabaran dan semangat perjuangan serta kesetiaan dan keyakinan pada tujuan yang ingin diraih.
Proses inilah yang oleh Abraham H. Maslow, pelopor psikologi humanistik, disebut pendakian menuju aktualisasi diri (self-actualization). Seorang yang ingin meraih derajat aktualisasi diri dituntut untuk senantiasa menentukan pilihan-pilihan baik (kreatif) dan menghindari pilihan-pilihan buruk (kemalasan atau kegamangan). Dengan demikian, maka pada saatnya ia akan meraih apa yang ia sebut sebagai aktualisasi diri (self actualization). Di mana kreatif adalah salah satu cirinya.
Memilih Karyawan yang Tepat
Karena pencapaian kreatif memerlukan jalan panjang yang berliku maka sebuah perusahaan dituntut untuk memilih dan memiliki karyawan yang benar-benar telah memiliki kapasitas kreatif, bukan menjadikan karyawannya menjadi kreatif. Membina orang menjadi kreatif memerlukan waktu panjang dan tantangan yang berat. Untuk itu, yang harus dilakukan adalah memilih yang kreatif dan membuang yang tidak. Menjadikan orang malas menjadi kreatif tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan yang setiap saat dituntut kreatifitas dan inovasi. Perusahaan yang setiap waktu menghadapi tantangan berat dan situasi yang tidak menentu.
Dalam faktanya, hanya perusahaan yang dihuni oleh orang-orang kreatiflah yang akan dapat bertahan dan memenangkan pertarungan. Mengelola bisnis tidak berbeda dengan membawa rombongan pendaki gunung menuju ke puncak. Ada banyak hal ketidakpastian. Ada banyak hal yang dapat membuat bisnis sewaktu-waktu dapat hancur. Hanya orang-orang yang memiliki semangat juang tak kenal menyerah yang mampu bertahan sampai puncak.
Menghadapi lingkungan bisnis yang tidak pasti dibutuhkan strategi jitu. Ketika Richard P. Cooley menjadi CEO Wells Fargo, sesaat sebelum terjadinya deregulasi industri perbankan di AS, ia menghadapi masalah yang cukup pelik. Bagaimana ia merencanakan bisnis di tengah kondisi kacau yang penuh ketidakpastian?
Cooley seperti pendaki gunung yang berhadapan dengan medan yang belum pernah didaki. Ia tidak tahu apa yang dapat dilakukan alam terhadap dirinya. Bisa jadi ia terkena badai dan kemungkinan terburuk baginya adalah mati. Bisnisnya bangkrut. Pertanyaannya, lalu strategi bisnis apa yang dipakai Cooley? Ternyata Cooley tidak melakukan apa-apa. Tepatnya, Cooley tidak memfokuskan diri pada pertanyaan apa yang harus dilakukan, tetapi ia fokus kepada pertanyaan “siapa”.
Apa solusi terbaik untuk mengatasi lingkungan bisnis yang penuh ketidakpastian? Apa strategi utama untuk mendaki gunung yang memiliki kondisi ekstrem? “Pilih rekan mendaki yang tepat! Rekan yang ikut beradaptasi dengan kondisi apa pun. Begitulah cara membangun masa depan bisnis!” kata Cooley mantap.
Dengan memasukkan sejumlah tenaga handal dan professional langsung ke jantung perusahaannya, Cooley membuat tim manajemen yang tangguh. Ia meletakkan landasan bagi Wells Fargo untuk melonjakkan harga sahamnya di pasar modal. Bahkan hingga 300%. Padahal pada saat yang sama kondisi industri perbankan justru jatuh 59% di pasar modal.
Prinsip dasar dalam membangun perusahaan yang sukses, yang membedakannya dengan perusahaan yang tidak sukses, menurut Cooley adalah: “Pertama adalah Siapa!” Masukkan penumpang yang tepat ke dalam bus, singkirkan penumpang yang buruk kinerjanya. Dudukkan penumpang yang tepat itu di kursi yang tepat, lalu tentukan arah bus mau ke mana! katanya lagi.
Sebelum menentukan “penumpang” yang buruk kinerjanya, beberapa pemimpin perusahaan yang disurvey sering mengajukan pertanyaan: “Apakah kita menghadapi masalah bus atau masalah tempat duduk? Apakah kita memiliki penumpang yang tepat tapi duduk di kursi yang salah? Jika diperjelas, pertanyaan yang menimbulkan kebingungan itu menjadi, “Sebenarnya apa sih kriteria “penumpang” yang baik dalam bus? Dengan kata lain, orang-orang yang tepat dalam perusahaan itu seperti apa sih?
Riset yang dilakukan Jim Collins, dalam penelitiannya menemukan menghasilkan 5 (lima) kriteria orang yang tepat dalam perusahaan.
Pertama, Orang yang tepat adalah orang yang sesuai dengan nilai inti perusahaan. Perusahaan besar membangun budaya perusahaannya. Karyawan yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan nilai perusahaan bakal merasa berhadapan dengan virus. Sebagai contoh, Nucor Stell mengembangkan budaya kerja yang sangat dinamis dan bergairah. Seorang karyawan yang ketahuan malas pernah dikejar oleh kawannya sendiri dengan setrika besi. Bagaimana cara menghasilkan karyawan yang dapat memahami nilai perusahaan? Jawabannya justru tidak bisa. Anda harus mencari karyawan yang sudah memahami budaya kerja perusahaan Anda.
Kedua, karyawan yang tepat meringankan pengawasan. Sesaat begitu Anda merasa perlu mengawasi karyawan secara khusus, bisa jadi Anda telah salah mengangkat karyawan. Karyawan yang tepat tidak harus selalu diawasi meski ia tetap harus diarahkan, diajarkan. Bila Anda mempekerjakan karyawan yang tepat, Anda menghemat waktu untuk memotivasi dan mengelola mereka. Karyawan akan bertindak produktif secara sendirinya. Mereka disiplin, mengerjakan sesuatu sekuat tenaga. Hal itu karena sudah mengalir dalam darah mereka.
Ketiga, karyawan yang tepat mengerti bahwa mereka tidak bekerja, mereka bertanggung jawab. Misalnya, dalam sebuah ruang pengontrol lalu lintas penerbangan, seorang petugas pengatur lalu lintas mengatakan, “Saya telah mengerjakan seluruh tugas saya hari ini”. Tetapi sebuah pesawat jatuh dan hancur berkeping-keping. Apakah itu cukup? Karyawan yang tepat sadar akan perbedaan antara “kerja” mereka dan “tanggung jawab” yaitu mendaratkan dan menerbangkan pesawat dengan selamat. Perusahaan besar mengembangkan budaya disiplin, baik disiplin dalam pemikiran maupun tindakan. Intinya adalah berpikir kreatif dalam kerangka kerja yang bertanggung jawab.
Keempat, karyawan yang tepat mencerminkan perilaku layaknya “jendela dan kaca”. Ketika segala sesuatu berjalan baik, karyawan yang baik justru menunjuk ke luar jendela, ke pihak lain yang ikut kontribusi terhadap kesuksesan. Mereka hanya mengambil sedikit percikan sukses. Sebaliknya, ketika situasi bisnis berjalan tidak beres, karyawan yang tepat tidak menyalahkan situasi atau orang. Mereka dengan tegas bertindak layaknya kaca, menunjuk ke diri sendiri dan mengatakan, “Saya yang bertanggung jawab”.
Kelima, Karyawan yang tepat memiliki gairah kepada perusahaan dan gairah itu bekerja. Tidak ada yang lebih baik daripada gairah bekerja. Karyawan yang tepat merefleksikan gairah bekerja di perusahaan. Bila Anda tidak dapat menumbuhkan gairah itu kepada karyawan Anda, lebih baik turunkan mereka dari bus. Mereka tidak mencintai pekerjaannya. David Packard, pendiri Hewlett-Packard, pernah berkata, “Perusahaan yang besar seringkali dapat lebih berisiko mati karena ‘kekenyangan’ daripada ‘kelaparan’.
Riset yang dilakukan Jim Collins mendukung pernyataan David Packard. Halangan utama pertumbuhan dan kesuksesan bisnis bukanlah pasar, teknologi atau kesempatan, atau bahkan modal. Rintangan terbesar justru datang dari kemampuan untuk menarik dan mempertahankan orang yang tepat dalam perusahaan. Apakah Anda memiliki 100% orang yang tepat sebagai ‘penumpang’ Anda, atau hanya 70%, 80% atau hanya 90%? Bila Anda merasa penumpang bus Anda kurang tepat, maka prioritas Anda adalah: segera menggantinya! Hanya orang-orang yang berkarakter kreatiflah yang dapat menjadikan perusahaan melaju dengan aman dan dapat bertahan menghadapi tantangan ke depan.



Daftar Rujukan:
Flaum, Sander A. Time to Create. www.pharmexec.com
Mauzy, Jeff, & Harriman, Richard A. (2003). Creativity Inc.: Building an Inventive Organization, Harvard Business School Press
Maslow, H. Abraham, (1968). Toward Psychology of Being, New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar