Selasa, 29 Maret 2011

BATIK "IS" INDONESIA


Oleh : Munif Kholifah Sulistiyoningrum
A.    Pendahuluan
Warisan atau peninggalan dari nenek moyang bangsa Indonesia ke generasinya sekarang adalah beragam bentuk, jenis dan wujud. Beberapa diantaranya adalah candi-candi, senjata tradisional seperti sangkur, keris, dan tombak, kapal laut Pinisi, wayang, dan batik. . Warisan dari nenek moyang itu tidak semuanya terpelihara dengan baik di masa sekarang ini, namun ada upaya lebih giat dari pemerintah, kalangan swasta, dan masyarakat Indonesia untuk melestarikan semua peninggalan tersebut.  Salah satu upaya pelestarian peninggalan itu adalah batik.
Batik Indonesia telah ditetapkan badan dunia UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (world heritage). Dengan pengakuan internasional bukan berarti upaya pengembangan batik selesai begitu saja, namun harus tetap dilestarikan pada generasi mendatang.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920.
Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam adalah banyaknya daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian batik menjadi alat perjungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Pamor batik makin cemerlang, baik di dalam maupun di luar negeri. Momentum ini tak disia-siakan oleh banyak pelaku industri batik. Mereka memanfaatkannya untuk memperkenalkan berbagai jenis batik inovatif, yang mengikuti perkembangan zaman dan permintaan batik. Batik Gadis Bali, misalnya, mengusung batik impresionisme sebagai bentuk kreativitas pembuatnya.
Seluruh masyarakat Indonesia, baik tua maupun muda, tampaknya sudah makin menaruh perhatian kepada batik. Hal itu tentu saja tak luput dari peran para perajin batik yang gencar menciptakan beragam motif, warna, dan desain batik yang inovatif. Batik inovatif ini masih memegang pakem dasar pembuatan batik. Namun, perajin kemudian mengolaborasikannya dengan berbagai ide kekinian, baik dalam hal pemilihan warna maupun motif batik.
Itulah sebabnya kemudian muncul sebutan batik impresionisme untuk menyebut kombinasi batik tradisional dan modern yang menciptakan corak dan warna batik yang lebih bervariasi. Sehingga batik tidak lagi menjadi pilihan orang tua pada acara-acara tertentu saja, namun sekarang batik sudah menjadi trend dan gaya hidup orang Indonesia pada umumnya.

B. Permasalahan
Dalam perkembangan batik hingga sekarang banyak sekali permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan upaya melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Permasalahan yang dimaksud, difokuskan pada pertanyaan :
  1. Bagaimana kita dapat lebih mengembangkan dan mencintai produk batik pada generasi Indonesia sekarang dan mendatang.
  2. Upaya kita bersama untuk melestarikan batik Indonesia.

C. Pembahasan
      Dari kedua permasalahan tersebut penulis berusaha untuk membuat alternatif solusi yang mungkin bisa digunakan dan bahkan dapat dikembangkan lebih sempurna lagi.
  1. Dari segi pendidikan.
Penulis menyarankan kepada pemerintah melalui Depdiknas untuk mewajibkan mata pelajaran membatik kepada para siswa menengah kejuruan pada level SLTA di daerah-daerah sentra utama pengrajin batik, yaitu Yogyakarta, Solo, dan Semarang (Joglosemar), dan Pekalongan.
Manfaat yang diperoleh dari aktivitas ini antara lain adalah siswa SLTA kejuruan secara langsung ikut terlibat dalam proses pembuatan hingga akhinya menjadi produk final (batik), sekaligus juga terjadi proses penanaman pelestarian batik pada generasi muda (SLTA) Indonesia.
Selain itu, keuntungan lain yang diperoleh para siswa adalah mereka dapat menambah uang saku untuk membiayai pendidikan mereka, atau untuk memenuhi kebutuhan mereka lainnya. Agar hasil produk batik yang dibuat oleh para siswa menjadi bagus dan bernilai komersial, Depdiknas setempat dapat merekrut tenaga pengajar lokal yang memiliki keahlian tinggi dalam membatik, misalnya, pembatik lokal (sektor informal) di satu sisi. Di sisi lain, untuk tenaga pengajar formal, hal ini dapat diperoleh dari para lulusan minimal setingkat D3 yang mendalami seni dan kriya pada aras universitas.
Dampak jangka panjang dari kegitan ini adalah selain kesinambungan produksi batik terjaga kontinuitasnya, juga dia menjadi salah satu sektor penghasil tenaga kerja terampil (pembatik) untuk para siswa SLTA kejuruan. Harapannya setelah para siswa lulus, bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan ke level universitas, mereka dapat menjadi pembatik yang terampil tanpa menjalani pendidikan yang lebih tinggi.
           Jika dikaitkan dengan usaha pengembangan, pencintaan dan pelestarian batik pada generasi muda sekarang dan mendatang, kegiatan ini sangat mengena pada mereka. Penyebabnya adalah mereka telah dilibatkan dalam proses produksi hingga menjadi produk akhir berupa kain batik. Aktivitas tersebut tentunya sangat membekas mendalam untuk mereka karena mereka menjalani proses antara teori dan praktek yang berjalan bersamaan.
  1. Dari segi ekonomi.
Setelah berlangsung proses produksi, maka unsur pemasaran memegang peranan penting dalam upaya menjual produk batik ke konsumen. Menurut penulis, kita perlu membuat suatu slogan yang membuat para konsumen (dari muda hingga tua) untuk selalu mengingat dan lebih tertarik menggunakan batik. Slogan itu, misalnya, “Batik is Indonesia.”
Dipilih dalam bahasa Inggris karena dia adalah bahasa terbanyak yang digunakan oleh orang-orang di seluruh dunia, dan orang Indonesia sendiri pun secara garis besar mudah memahami slogan ini.
Adapun ide pembuatan slogan ini diilhami oleh perusahaan Coca-Cola yang sukses mengkampanyekan produknya ke seluruh dunia melalui slogan : Always Coca-Cola. Slogan ini singkat, tetapi dia memiliki efek kuat di benak konsumen.
Hal yang sama diharapkan juga terwujud melalui slogan : “Batik is Indonesia.” Selain slogan ini ingin meraih simpati konsumen seluas mungkin, dia juga mengingatkan kepada semua orang baik dalam negeri maupun luar negeri. Bagi orang dalam negeri (Indonesia), slogan ini memberikan efek untuk membuat kita tahu dan lebih mencintai produk buatan sendiri, sedangkan bagi orang luar negeri, mereka akan tahu bahwa batik berasal dari Indonesia (suku bangsa Jawa, khususnya), dan bukan dari negara lain yang mengklaim dirinya sebagai pencipta batik. Alasan terakhir ini menjadi sangat penting karena pada era globalisasi sekarang dan mendatang, masalah asal-usul produk sangatlah penting karena dia menyangkut isu Hak atas Kekayaan Intelektual (HakI).
Tentunya, kita tidak ingin hasil karya asli bangsa kita diakui melalui hak paten oleh negara lain. Oleh karena itu, kita harus mengupayakan program yang baik, ringkas, sederhana, murah dan terukur kepastian ongkosnya (transparan) serta cepat dalam pembuatan hak paten batik di Dirjen HakI.
Sayangnya hingga sekarang, kita cukup sering mendengar bahwa biaya untuk pengurusan hak paten tidaklah murah, sehingga hal itu memberatkan pengaju hak paten yang terutama kebanyakan adalah pengusaha UMKM seperti pengrajin batik.
Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar Dirjen HakI dapat melakukan langkah terobosan sehubungan dengan permasalahan ini. Misalnya, dibuat adanya mekanisme pengangsuran (kredit) dari Dirjen HakI untuk para pengaju hak paten, sehingga hal itu akan menimbulkan kesan seolah-olah biaya suatu produk (batik) menjadi lebih murah.
Selain paparan di atas, pemasaran juga berhubungan erat dengan produksi dan sasaran pengguna (konsumen) dari suatu produk. Bila dipilah, produk batik itu dapat digolongkan untuk konsumen berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi. Oleh karena itu, semua upaya produksi, pengembangan, pencintaan, dan pelestarian produk batik haruslah dilakukan dengan menyasar pada ketiga kelompok konsumen tsb.
Untuk kelompok pertama dan ke dua, bisa jadi terbanyak konsumennya adalah anak-anak muda yang belum memiliki penghasilan sendiri, tetapi mereka sangat memperhatikan tampilan warna, model, dan harga jual. Oleh karena itu, untuk konsumen pada kedua kategori ini, produk yang dihasilkan haruslah memperhatikan unsur model, warna, dan harga jual.
Menurut penulis, di dunia nyata, langkah yang ditempuh Batik Danar Hadi, misalnya, adalah sudah cukup baik. Dikatakan cukup baik, karena perusahaan ini menjual produknya untuk sasaran konsumen berpendapatan rendah, menengah, dan tinggi yang mana masing-masing produk batik untuk ketiga kelompok konsumen tersebut adalah berkualitas baik.
Indikatornya antara lain adalah warna batik untuk produknya tidak cepat luntur/pudar, mengikuti tren anak muda yang dinamis, yang mana kelompok ini menginginkan warna-warna cerah dan potongan/model batik yang segar/menarik, serta harga jual yang terjangkau (kompetitif). Khusus untuk konsumen berpendapatan tinggi, kelompok ini umumnya menginginkan produk batik tulis tangan yang tidak diproduksi secara masif.
Strategi pemasaran yang dapat dilakukan untuk konsumen ini adalah menjaga kepercayaan mereka akan kualitas yang tinggi untuk setiap batik tulis yang dihasilkan oleh pembatik (perusahaan yang berusaha di bidang batik). Selain itu, untuk mendapatkan lebih luas lagi para konsumen di segmen ini, perusahaan batik dapat melakukan pameran atau workshop di dalam dan luar negeri dan dan sistim penjualan secara online.                                                                                                              
Untuk pangsa pasar konsumen berpendapatan rendah dan menengah, strategi pemasaran yang dapat dilakukan, misalnya, adalah penjualan batik melalui distro-distro, melalui koperasi mahasiswa,  koperasi sekolah, pasar-pasar tradisional, dan pasar-pasar modern dengan memperhatikan unsur model, warna-warna yang cerah dan berani, serta harga jual yang kompetitif, dan disertai dengan mutu batik yang baik.
3. Dari segi lingkungan hidup
Di era sekarang dan mendatang, isu lingkungan hidup menjadi krusial. Apa kaitannya antara lingkungan hidup dengan batik? Penulis beranggapan hubungan antara keduanya erat.
Dalam proses membatik, dia terkadang memerlukan campuran kimia warna tertentu untuk dapat menghasilkan produk akhir (batik). Selama proses membatik itu, faktor bahan-bahan yang digunakan dalam membatik seperti warna, haruslah bahan-bahan yang aman bagi manusia, dan tidak membahayakan lingkungan hidup. Untuk yang terakhir, kita harus memastikan adanya sistem pengelolaan limbah yang ramah lingkungan hidup bagi perusahaan-perusahaan batik skala menengah dan besar.
Adapun untuk perusahaan skala kecil, edukasi kepada para pengusaha atau pembatik mengenai bahan-bahan yang aman untuk diproduksi dalam pembuatan batik perlu dilakukan. Akan lebih baik lagi, bila mereka ini tetap menggunakan bahan-bahan alami dalam membatik sehingga resiko pencemaran lingkungan hidup menjadi lebih kecil.
Bila kita dapat menjalankan dengan baik semua proses ini, kita memperoleh manfaat darinya seperti berkesinambungannya proses produksi batik yang aman terhadap lingkungan hidup, dan menaikkan citra batik Indonesia di hadapan orang luar negeri.
Alasan yang terakhir ini karena pada umumnya orang-orang asing (dari Eropa terutama), mereka sangat peduli terhadap suatu produk yang dihasilkan dari proses yang aman /ramah terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan kedua alasan ini, kita harus peduli untuk mewujudkan produk batik Indonesia yang aman terhadap lingkungan hidup (batik is a green product).
Berdasarkan paparan-paran sebelumnya, kedua permasalahan yang ada dalam tulisan telah penulis jawab. Secara singkat, alternatif solusi untuk kedua permasalahan itu, telah dibahas dari segi pendidikan, ekonomi, dan lingkungan hidup. Penulis berkeyakinan bahwa bila ketiga segi atau unsur di atas dilakukan secara bersamaan dan ajeg oleh kita semua, maka upaya kita untuk lebih mencintai, mengembangkan, dan melestarikan batik sebagai warisan budaya Indonesia akan berhasil di dalam negeri, dan dia juga akan berdampak positif pada citra batik Indonesia di mata orang-orang non-Indonesia (asing), baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar